kpiiaihpancornews.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pendidikan di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta, telah menjadi sorotan publik. Ini bukan sekadar persoalan teknis atau administratif, melainkan menyentuh inti dari amanat konstitusi dan komitmen negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor, saya memandang bahwa putusan ini patut diapresiasi. Namun, perlu dikawal secara kritis dan konstruktif.
Pendidikan sebagai Hak, Bukan Komoditas
Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Hak ini tidak boleh dimaknai sebagai layanan yang dikomersialisasikan atau dibatasi oleh kemampuan ekonomi seseorang. Dalam konteks ini, MK telah menegaskan kembali prinsip bahwa negara wajib menyediakan pendidikan dasar secara gratis, tanpa diskriminasi, termasuk di sekolah swasta.
Fenomena di lapangan berbicara lain. Banyak sekolah swasta yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat justru mengenakan biaya yang cukup tinggi. Alasan mereka sederhana: tidak adanya dukungan anggaran memadai dari negara. Maka, putusan MK ini bukan hanya menegaskan hak warga negara, tetapi juga menjadi sinyal bagi pemerintah untuk segera melakukan reformulasi kebijakan pembiayaan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
Konteks Sosial di Daerah: Pendidikan Masih Jadi Beban
Jika kita bicara dari sudut pandang lokalitas, seperti Lombok Timur, realitas sosial menunjukkan bahwa biaya pendidikan dasar masih menjadi beban keluarga. Di banyak desa, orang tua terpaksa memilih sekolah yang lebih murah meski kualitasnya rendah. Bahkan tak jarang anak-anak putus sekolah karena tak sanggup membayar iuran seragam, buku, atau kegiatan ekstrakurikuler yang "tidak wajib tapi diwajibkan".
Di sinilah saya melihat pentingnya negara hadir secara konkret, bukan hanya dalam bentuk regulasi atau putusan hukum, tapi dalam wujud anggaran yang menyentuh hingga ke pelosok desa. Apalah arti putusan MK jika tidak disertai dengan political will dan skema pembiayaan yang memadai?
Sekolah Swasta: Pilar Penting tapi Rentan
Putusan MK ini tentu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengelola sekolah swasta, termasuk lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh yayasan atau pondok pesantren. Sekolah swasta selama ini mengisi kekosongan yang tidak mampu dijangkau oleh sekolah negeri, terutama di daerah-daerah terpencil atau padat penduduk. Mereka membangun dengan semangat pengabdian dan gotong royong. Tapi tanpa dukungan dana, bagaimana mereka bisa bertahan?
Negara harus membangun mekanisme subsidi silang atau bantuan operasional yang adil untuk sekolah swasta, khususnya yang non-profit dan memiliki kontribusi nyata terhadap pencerdasan bangsa. Kita tidak bisa serta merta meminta mereka menggratiskan pendidikan tanpa memberikan solusi keuangan yang berkeadilan.
Komunikasi Publik dan Edukasi Kebijakan
Sebagai akademisi di bidang komunikasi, saya menilai bahwa pemerintah harus melakukan edukasi kebijakan kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dipahami. Putusan MK ini bisa disalahartikan sebagai pembebasan total dari semua jenis biaya pendidikan, termasuk seragam, transportasi, atau kegiatan tambahan lainnya. Padahal, dalam pelaksanaannya, akan ada banyak variabel yang tetap memerlukan pembiayaan.
Strategi komunikasi publik menjadi kunci. Pemerintah pusat hingga daerah harus bersinergi menyampaikan informasi dengan jujur dan transparan, menjelaskan batasan, skema pembiayaan, dan langkah-langkah transisional menuju pendidikan dasar yang benar-benar gratis dan bermutu.
Mengawal Mutu di Tengah Gratifikasi
Tantangan berikutnya adalah menjaga mutu pendidikan. Gratis bukan berarti murahan. Ketika sekolah tidak boleh menarik biaya dari orang tua siswa, maka potensi menurunnya kualitas sangat mungkin terjadi jika tidak ada kompensasi dari sisi anggaran negara. Ini termasuk anggaran untuk menggaji guru, menyediakan fasilitas belajar, dan meningkatkan kapasitas tenaga pendidik.
Kita tidak ingin sekolah-sekolah menjadi "pabrik ijazah" tanpa proses pembelajaran yang bermutu. Apalagi di era digital saat ini, tantangan dunia pendidikan sangat kompleks, mulai dari transformasi teknologi, tantangan literasi, hingga pergeseran nilai-nilai sosial akibat banjir informasi di media sosial.
Peran Strategis Lembaga Pendidikan Islam
Sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam, saya melihat peluang dalam putusan MK ini untuk memperkuat nilai-nilai keislaman dalam dunia pendidikan. Pendidikan gratis tidak boleh hanya menjadi soal angka dan anggaran, tapi harus tetap berorientasi pada pembentukan akhlak dan karakter. Sekolah swasta berbasis keagamaan harus mengambil peran sebagai penjaga nilai, sekaligus beradaptasi dengan dinamika kebijakan baru.
Kampus-kampus Islam, termasuk IAIH Pancor, dapat memainkan peran strategis dalam membina sekolah-sekolah di bawah naungan YPH PPD NWDI Pancor agar mampu menyusun laporan keuangan yang transparan, mengakses dana bantuan pemerintah, dan tetap menjaga independensi serta kualitas pendidikan.
Refleksi Kebijakan: Apakah Negara Siap?
Putusan MK ini adalah cambuk bagi pemerintah. Ini bukan hanya soal perubahan peraturan, tetapi juga reformasi struktural dalam tata kelola pendidikan. Pemerintah harus mengevaluasi total skema anggaran pendidikan, memperkuat sistem BOS (Bantuan Operasional Sekolah), serta memastikan tidak ada satu anak pun yang tertinggal hanya karena miskin.
Pertanyaannya: apakah negara siap? Apakah APBN siap menanggung beban tambahan untuk menyubsidi pendidikan di sekolah swasta? Apakah birokrasi siap mempercepat distribusi dana ke daerah dan menjamin akuntabilitasnya?
Kesiapan negara akan diuji bukan di media, tetapi di ruang-ruang kelas di desa terpencil, di lembar daftar hadir siswa dari keluarga buruh tani, dan di wajah guru-guru honorer yang masih menanti kejelasan nasibnya.
Arah Baru Gerakan Pendidikan
Saya sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya juga melihat bahwa pendidikan gratis seharusnya membuka jalan bagi gerakan pendidikan yang lebih partisipatif, kolaboratif, dan berbasis komunitas. Pemerintah, sekolah, orang tua, dan lembaga keagamaan harus membangun kemitraan strategis. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Putusan MK ini harus dibaca sebagai peluang untuk membangun kembali semangat pendidikan sebagai gerakan kebangsaan. Bukan sekadar proyek birokrasi atau data statistik belaka, tetapi gerakan moral untuk membebaskan anak-anak bangsa dari kebodohan struktural dan ketimpangan sosial.
Mengawal dengan Harapan dan Tindakan
Dalam tulisan ini, saya menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi sebagai langkah progresif menuju keadilan pendidikan. Namun, sebagai akademisi dan praktisi pendidikan, saya juga mengajak semua pihak untuk tidak terjebak dalam euforia semata. Kita harus kritis, waspada, dan terus mengawal implementasi kebijakan ini di lapangan.
Tugas kita belum selesai. Pendidikan gratis hanyalah pintu masuk menuju pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia, membebaskan dari belenggu kemiskinan, dan membentuk generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga berakhlak.
Kita semua punya peran dari ruang kelas hingga ruang sidang, dari bilik desa hingga pusat kota untuk menjadikan pendidikan sebagai hak yang sungguh-sungguh dirasakan oleh seluruh anak negeri, bukan sekadar janji yang tertulis di atas kertas konstitusi.