Notification

×

Iklan

Iklan

Gunung Rinjani: Di Antara Keagungan Alam dan Tanggung Jawab Manusia

Senin, 19 Mei 2025 | Mei 19, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-19T11:34:02Z
Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos
Dosen KPI IAIH Pancor


kpiiaihpancornews.com - Gunung Rinjani berdiri megah di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebagai titik tertinggi kedua di Indonesia setelah Gunung Kerinci. Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Rinjani bukan sekadar gunung; ia adalah mahakarya alam yang menyimpan kekuatan spiritual, kekayaan ekologi, sekaligus menjadi ruang perjumpaan antara manusia dan dirinya sendiri. Namun, di tengah pesonanya yang memikat, Rinjani juga sedang menghadapi tekanan berat dari ulah manusia yang kerap lupa bahwa keindahan adalah anugerah yang tak kekal.


Sebagai warga Lombok, saya melihat Rinjani bukan hanya sebagai destinasi wisata. Ia adalah penjaga hutan, penyimpan air, rumah bagi flora dan fauna endemik, sekaligus sumber inspirasi budaya dan spiritual bagi masyarakat Sasak dan sekitarnya. Tapi ironisnya, semakin banyak orang memuja Rinjani, semakin besar pula ancaman terhadap kelestariannya.


Rinjani dan Daya Tarik Mistisnya

Dalam budaya lokal, Gunung Rinjani bukan sekadar gundukan tanah yang menjulang tinggi. Ia dipercaya sebagai tempat bersemayam para dewa, leluhur, dan makhluk spiritual. Danau Segara Anak yang terletak di kawahnya dianggap suci oleh masyarakat Hindu Bali dan Sasak, sering dijadikan lokasi persembahyangan dan ritual keagamaan. Mistisisme ini bukan mitos kosong; ia membentuk cara masyarakat lokal memperlakukan gunung dengan rasa hormat dan takzim.


Namun, ketika pariwisata mulai berkembang pesat sejak era 2000-an, perspektif terhadap Rinjani mulai bergeser. Rinjani menjadi "produk" yang dipasarkan: paket wisata, spot Instagramable, dan puncak pendakian yang harus ditaklukkan. Gunung yang sebelumnya dijaga dengan laku spiritual kini diinvasi oleh kepentingan ekonomi dan egoisme manusia yang menganggap alam sebagai latar belakang petualangan pribadi.


Ironi Pariwisata Alam

Tidak dapat disangkal, Rinjani telah menjadi motor penggerak ekonomi lokal. Ribuan porter, guide, dan pelaku usaha kecil menggantungkan hidup mereka pada arus wisatawan yang datang mendaki. Setiap musim pendakian dibuka, ribuan orang dari seluruh dunia membanjiri jalur-jalur pendakian: Senaru, Sembalun, Torean. Tenda-tenda warna-warni menghiasi lereng-lereng bukit, aroma makanan instan dan kopi sachet menguar di tengah kabut subuh, dan suara kamera digital bergantian dengan jeritan pendaki yang merayakan keberhasilan menaklukkan puncak.


Tapi di balik geliat ekonomi itu, gunung ini terluka. Sampah plastik menumpuk di pos-pos peristirahatan, jalur pendakian rusak akibat overkapasitas, dan kerusakan vegetasi terjadi secara masif. Rinjani seakan menjerit dalam diam: manusia datang membawa semangat eksplorasi, tetapi lupa membawa kesadaran ekologis.


Pemerintah memang sudah mengambil langkah: membatasi kuota pendakian, menerapkan sistem booking online, bahkan mengenakan sanksi bagi pendaki yang membuang sampah sembarangan. Tapi selama kesadaran ekologis belum menjadi nilai utama dalam setiap perjalanan, regulasi hanya akan menjadi simbol yang rapuh.


Antara Spiritualitas dan Eksploitasi

Gunung Rinjani adalah metafora tentang hubungan manusia dengan alam. Ia tidak hanya menjulang secara fisik, tetapi juga memancarkan pesan moral. Dalam keheningan hutan tropisnya, dalam semilir angin di bibir kawahnya, manusia seharusnya belajar tentang batas: kapan harus melangkah, dan kapan harus berhenti.


Sayangnya, dalam budaya modern yang digerakkan oleh media sosial dan pencitraan diri, pendakian sering kali menjadi ajang pembuktian ego. Rinjani menjadi “trofi” bagi para petualang urban yang ingin menunjukkan betapa tangguhnya mereka. Padahal, mendaki bukan soal menaklukkan alam, melainkan menaklukkan diri sendiri.


Ironi terjadi ketika para pendaki memotret matahari terbit dari puncak, namun meninggalkan jejak sampah di belakang. Ketika mereka mengunggah foto indah di Instagram dengan tagar #RinjaniTrip. Namun, tidak pernah berpikir untuk membawa turun kembali bungkus mie instan yang mereka bawa. Apakah ini bentuk cinta terhadap alam, atau eksploitasi yang dibungkus romantisme?


Rinjani dalam Narasi Ekologis

Lebih dari sekadar destinasi wisata, Rinjani adalah kawasan konservasi. Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) mencakup area seluas lebih dari 40.000 hektar yang menjadi rumah bagi ratusan spesies tanaman dan hewan, beberapa di antaranya langka dan endemik. Ia juga merupakan daerah tangkapan air yang vital bagi masyarakat Lombok. Sungai-sungai yang mengalir dari lereng Rinjani menghidupi pertanian, perikanan, bahkan kebutuhan air minum.


Kita sering lupa bahwa menjaga Rinjani adalah menjaga kehidupan. Ketika hutan gundul karena ulah manusia, banjir bandang datang melanda desa-desa. Ketika sungai mengering akibat perubahan iklim dan eksploitasi, petani menjerit tak bisa menanam. Dan ketika gunung ini terluka karena keserakahan manusia, maka luka itu akan menjalar ke seluruh ekosistem.


Oleh karena itu, penting untuk mengembalikan narasi pendakian Rinjani ke dalam bingkai etika ekologis. Pendakian bukan hanya soal fisik, tapi juga spiritualitas ekologis: menyadari bahwa setiap langkah kaki di tanah gunung adalah janji untuk tidak menyakiti bumi yang menopang kita.


Pendidikan Ekologis dan Kesadaran Kolektif

Jika kita ingin Rinjani tetap lestari untuk anak-cucu kita, maka pendekatan yang dibutuhkan bukan sekadar larangan atau sanksi. Kita butuh pendidikan ekologis yang terstruktur, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dari komunitas lokal hingga platform media sosial. Kita harus menanamkan bahwa mencintai alam tidak cukup dengan mengaguminya, tapi dengan menjaganya.


Komunitas pendaki, operator wisata, dan pemerintah daerah harus membentuk aliansi strategis untuk membangun ekosistem wisata yang berkelanjutan. Program seperti “zero waste hiking,” pelatihan porter ramah lingkungan, edukasi tentang flora-fauna lokal, hingga pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan bisa menjadi langkah nyata.


Lebih dari itu, kita harus membangun kesadaran kolektif bahwa alam bukanlah objek eksploitatif. Ia adalah subjek relasional, yang hidup, yang bernapas, dan yang berhak mendapatkan penghormatan. Dalam konteks ini, Rinjani menjadi simbol harapan: bahwa manusia dan alam bisa hidup berdampingan, saling menguatkan, bukan saling melukai.


Rinjani sebagai Cermin Diri

Pada akhirnya, setiap perjalanan ke Rinjani adalah perjalanan ke dalam diri sendiri. Dalam sunyi hutan dan dingin malam, kita dihadapkan pada hakikat kita sebagai manusia yang rapuh namun sombong. Gunung ini tidak butuh kita untuk bertahan hidup, tapi kita yang butuh ia untuk belajar tentang kehidupan.


Ketika saya berdiri di tepi Danau Segara Anak, melihat pantulan bintang-bintang di permukaannya, saya merasa kecil, tapi juga tercerahkan. Rinjani mengajarkan saya tentang kekuatan kesabaran, keheningan sebagai bentuk kebijaksanaan, dan kesadaran bahwa bumi ini bukan warisan, melainkan titipan.


Maka mari kita jaga Rinjani, bukan karena ia indah, tapi karena ia adalah bagian dari kita. Karena ketika Rinjani rusak, bukan hanya puncaknya yang runtuh, tapi juga nurani kita sebagai manusia.

×
Berita Terbaru Update