Notification

×

Iklan

Iklan

Menjaga Gunung Rinjani dan Martabat Bangsa: Telaah atas Kebijakan Zero Waste dari TNGR hingga Kementerian

Senin, 19 Mei 2025 | Mei 19, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-20T03:46:37Z
Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos.
Dosen KPI IAIH Pancor

kpiiaihpancornews.com - Gunung Rinjani, sebagai salah satu gunung tertinggi dan terindah di Indonesia, telah menjadi magnet bagi pendaki dari seluruh penjuru dunia. Namun, popularitas ini juga membawa persoalan klasik yang kerap terjadi di kawasan wisata alam: sampah. Di balik pemandangan indah, hamparan edelweiss, dan magis Danau Segara Anak, Rinjani selama bertahun-tahun harus menanggung beban limbah yang ditinggalkan oleh manusia.


Menjawab tantangan itu, kebijakan Zero Waste atau nol sampah di kawasan Gunung Rinjani menjadi terobosan yang sangat penting. Dijalankan secara kolaboratif oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), Pemerintah Daerah, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), program ini bertujuan menciptakan sistem pendakian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Tapi sejauh mana kebijakan ini berjalan efektif? Dan apa saja tantangan yang menghambat implementasinya?


Zero Waste sebagai Konsep dan Gerakan

Secara umum, konsep Zero Waste bertumpu pada prinsip mencegah dan meminimalkan limbah dengan cara mengubah pola konsumsi dan produksi, serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab lingkungan. Dalam konteks pariwisata alam, terutama pendakian gunung, Zero Waste berarti bahwa setiap orang yang naik ke gunung wajib membawa kembali semua barang bawaannya, termasuk sampahnya sendiri.


Program ini tidak hanya soal etika pendakian, tapi juga bagian dari upaya besar untuk mempertahankan daya dukung ekologis Rinjani yang semakin tertekan. Banyak pihak sepakat bahwa pelestarian kawasan taman nasional, seperti Gunung Rinjani tidak bisa lagi ditunda. Karena itulah, Zero Waste bukan sekadar jargon, tetapi panggilan untuk bertindak.


Peran Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR)

Sebagai institusi teknis yang bertanggung jawab langsung atas pengelolaan kawasan Gunung Rinjani, BTNGR telah menginisiasi dan mengawal implementasi program Go Rinjani Zero Waste 2025. Kebijakan ini memuat serangkaian prosedur teknis bagi para pendaki, mulai dari:

  • Repacking (pengemasan ulang) makanan dan logistik ke dalam wadah yang ramah lingkungan.

  • Penimbangan sampah saat naik dan turun gunung, untuk memastikan semua limbah dibawa kembali oleh pendaki.

  • Penyediaan kantong sampah khusus oleh petugas BTNGR.

  • Edukasi dan sosialisasi di pintu masuk pendakian.

BTNGR juga menggandeng berbagai komunitas pecinta alam, operator wisata, dan masyarakat lokal untuk menyukseskan program ini. Patroli rutin dan inspeksi mendadak dilakukan sebagai bagian dari pengawasan terhadap kepatuhan pendaki. Namun, BTNGR tentu tidak berjalan di ruang hampa. Masih ada tantangan dalam bentuk keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, dan pendanaan. Pengawasan tidak bisa dilakukan secara optimal di semua jalur pendakian, terutama saat musim ramai. Di sinilah peran pemerintah daerah dan pusat sangat dibutuhkan untuk memperkuat sistem yang sudah ada.


Peran Pemerintah Daerah: Sinkronisasi dan Pemberdayaan Masyarakat

Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dan Pemerintahan Kabupaten Lombok Utara memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung keberhasilan Zero Waste di Rinjani. Salah satu caranya adalah melalui perencanaan tata kelola pariwisata berbasis konservasi.


Beberapa upaya konkret yang sudah dilakukan meliputi:

  • Mendorong partisipasi masyarakat desa di sekitar jalur pendakian untuk ikut dalam pengelolaan logistik dan sampah.

  • Menyediakan tempat pengelolaan sampah terpadu di basecamp dan desa-desa wisata.

  • Menyusun regulasi daerah yang sinkron dengan kebijakan BTNGR dan KLHK.

Selain itu, pemerintah daerah bisa mengambil peran sebagai fasilitator pelatihan bagi porter dan guide agar lebih profesional dalam mengedukasi tamu-tamu mereka. Banyak kasus menunjukkan bahwa ketidaksadaran pendaki berakar dari minimnya edukasi sebelum pendakian dimulai.


Pemberdayaan ekonomi masyarakat juga harus diarahkan pada usaha-usaha ramah lingkungan. Misalnya, penyediaan makanan lokal tanpa kemasan plastik sekali pakai, atau produksi oleh-oleh daur ulang berbahan sampah non-organik dari jalur pendakian.


Langkah Tegas Kementerian Kehutanan: Sanksi Rp 5 Juta dan Blacklist

Pada Mei 2025, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan pernyataan keras terkait pengelolaan Gunung Rinjani. Pendaki yang meninggalkan sampah akan dikenai sanksi denda maksimal Rp 5 juta dan larangan mendaki (blacklist) selama lima tahun.


Kebijakan ini menjadi tonggak penting dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia. Gunung Rinjani dijadikan proyek percontohan nasional untuk penerapan prinsip “Zero Waste dan Zero Accident”. Selain meningkatkan disiplin, sanksi ini bertujuan menciptakan efek jera dan mendidik publik bahwa pendakian bukan hanya soal petualangan, tetapi juga soal tanggung jawab sosial dan ekologis.


KLHK juga menyatakan komitmennya untuk:

  • Meningkatkan kapasitas ranger dan petugas lapangan.

  • Membangun sistem pendataan pendaki secara digital untuk memudahkan penelusuran pelanggaran.

  • Memberi dukungan teknis dan anggaran bagi pengembangan ekowisata berbasis konservasi

Namun, kebijakan tegas ini tidak boleh terjebak dalam pendekatan represif semata. Kunci keberhasilannya adalah pada kombinasi antara edukasi, insentif, dan sanksi. Pendaki yang patuh dan menunjukkan kepedulian lingkungan bisa diberi penghargaan, diskon, atau akses eksklusif ke program wisata edukatif.


Tantangan Nyata di Lapangan

Meskipun secara konsep Zero Waste sudah matang dan mendapat dukungan kebijakan di berbagai level, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi masih belum sempurna. Beberapa tantangan utama antara lain:

  • Rendahnya kesadaran pendaki, khususnya dari luar daerah atau luar negeri yang tidak familiar dengan budaya lokal dan regulasi.

  • Kurangnya edukasi sebelum pendakian, terutama oleh operator wisata yang tidak resmi.

  • Masih ada budaya ‘instan dan praktis’ yang membuat pendaki memilih makanan dan minuman berkemasan sekali pakai.

  • Keterbatasan fasilitas pengolahan sampah di desa-desa sekitar jalur pendakian.

Tanpa penyelesaian atas tantangan-tantangan ini, kebijakan bagus sekalipun bisa kehilangan efektivitasnya.


Rekomendasi: Kolaborasi dan Transformasi Budaya

Untuk mengatasi berbagai persoalan implementasi Zero Waste di Gunung Rinjani, dibutuhkan strategi yang terintegrasi dan jangka panjang. Beberapa rekomendasi penting antara lain:

  • Pendidikan lingkungan sejak dini di sekolah-sekolah lokal, terutama yang berada di kawasan penyangga Rinjani.

  • Standardisasi SOP operator wisata agar semua penyedia jasa mengikuti aturan dan mengedukasi klien.

  • Digitalisasi sistem pelaporan pendakian dan pemantauan sampah, termasuk pemanfaatan aplikasi atau QR code yang melacak riwayat pendaki.

  • Festival dan kampanye publik tentang pendakian ramah lingkungan, agar kesadaran terbentuk lewat budaya, bukan hanya aturan.

  • Penelitian dan pengembangan teknologi alternatif pengemasan, agar repacking tidak sekadar solusi manual tapi bagian dari inovasi ekowisata.


Rinjani untuk Masa Depan

Gunung Rinjani adalah warisan alam yang tak ternilai. Jika kita gagal merawatnya hari ini, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi foto-foto keindahannya, bukan keasliannya. Kebijakan Zero Waste adalah langkah besar ke arah yang benar. Tetapi langkah itu harus diikuti oleh komitmen yang nyata dari semua pemangku kepentingan.


Balai Taman Nasional, pemerintah daerah, dan KLHK telah menunjukkan keseriusannya. Kini giliran kita sebagai warga negara, pendaki, pelaku wisata, dan masyarakat umum untuk menempatkan tanggung jawab ekologis sebagai bagian dari identitas dan gaya hidup. Menjaga Rinjani tetap bersih bukan tugas satu lembaga, tapi kehormatan bersama.

×
Berita Terbaru Update