kpiiaihpancornews.com - Beberapa waktu terakhir, media sosial kembali diramaikan oleh video-video viral yang berasal dari Lombok, yaitu video tradisi “merariq kodeq” yang sengaja ditampilkan dalam balutan dramatisasi agar mengundang simpati dan tentunya... FYP. Dalam semarak like, komentar, dan share, satu hal yang patut kita renungkan apakah kita sedang menggunakan media sosial untuk kebaikan atau justru sedang diperbudak oleh algoritma?
Sebagai Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor, saya merasa perlu untuk mengajak masyarakat Lombok, khususnya para generasi muda, untuk berhenti sejenak dan berpikir ke mana arah kita dalam bermedia sosial hari ini?
Budaya FYP: Saat Konten Viral Mengalahkan Etika
Algoritma media sosial saat ini bekerja sedemikian rupa sehingga apa yang muncul di layar kita bukanlah cermin dari kebenaran, melainkan hasil dari pola klik, durasi tontonan, dan interaksi. Inilah yang disebut “algoritma FYP”, atau algoritma yang mengatur konten apa yang muncul dan menjadi viral.
Namun, persoalan menjadi rumit ketika masyarakat berlomba-lomba untuk membuat konten yang hanya demi viralitas, tanpa mempertimbangkan etika, kebenaran, dan dampak sosial. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga kini mewabah di Pulau Lombok.
Sebagai contoh, video merariq kodeq yang viral bukanlah konten edukatif. Ia justru memperkuat normalisasi praktik pernikahan usia anak yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Perkawinan dan Upaya Perlindungan Anak. Sayangnya, komentar netizen justru penuh pujian dan romantisasi, bukannya kritik atau edukasi. Hal Ini, bentuk perbudakan digital ketika kita bukan lagi pengguna media sosial, tetapi pengguna yang dipakai oleh media sosial. Kita tergoda oleh angka views, likes, dan komentar, sehingga kehilangan kendali terhadap nilai, akal sehat, bahkan jati diri.
Ketika Etika Dikalahkan oleh Eksistensi Digital
Budaya digital haruslah dibarengi oleh literasi media yang kuat. Di sinilah tantangan besar kita, khususnya di daerah seperti Lombok yang tengah tumbuh dalam perkembangan teknologi informasi. Namun, belum diiringi oleh kesiapan budaya literasi kritis.
Sebagian masyarakat masih memandang media sosial hanya sebagai tempat hiburan atau ajang eksistensi. Padahal, setiap konten yang diunggah berkonsekuensi sosial. Ia bisa memperkuat stigma, menormalkan kekeliruan, bahkan merusak struktur nilai budaya.
Lebih menyedihkan lagi, para pembuat konten seringkali tidak memahami apa yang mereka tampilkan. Asal lucu, asal mengundang empati, asal bikin geger, langsung diunggah. Tidak ada penyaringan, tidak ada framing yang cerdas. Kita seperti membiarkan media sosial menjadi panggung sirkus tanpa batas etika.
Apakah ini yang kita inginkan? Apakah demi FYP, kita siap memperdagangkan nilai budaya, menggadaikan pendidikan moral, dan mengaburkan batas antara benar dan salah?
Peran Strategis Akademisi dan Institusi Pendidikan
Sebagai bagian dari institusi pendidikan tinggi, kami di Prodi KPI IAIH Pancor menyadari bahwa peran akademisi sangat penting dalam membentuk kesadaran bermedia. Tugas kami tidak hanya mengajarkan teori komunikasi, tetapi juga membentuk cara berpikir kritis terhadap arus informasi dan budaya digital.
Kami mengajak seluruh civitas akademika, termasuk mahasiswa, dosen, dan alumni, untuk tidak sekadar menjadi “konsumen pasif” media sosial, tetapi menjadi produsen konten yang cerdas dan etis. Inilah yang kami sebut sebagai etika digital profetik etika yang bersumber dari nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial.
Kami ingin generasi muda Lombok bukan hanya dikenal sebagai kreator konten viral, tetapi juga sebagai generasi yang mampu menghadirkan narasi yang mencerdaskan, mendidik, dan memperkuat budaya lokal yang positif.
Literasi Digital: Kunci Melawan Budaya Viral yang Tidak Sehat
Untuk itu, literasi digital harus menjadi gerakan bersama. Literasi digital bukan hanya soal tahu cara menggunakan teknologi, tetapi juga paham cara memilah informasi, memahami etika daring, serta mampu menilai apakah suatu konten layak dikonsumsi atau sebaiknya diabaikan.
Kami menyerukan kepada para tokoh masyarakat, pemuka agama, guru, orang tua, dan para pemangku kebijakan di Lombok untuk menjadikan literasi media sebagai program strategis. Ini bisa dimulai dari diskusi komunitas, pelatihan di sekolah, hingga kampanye sosial di desa-desa. Karena pada akhirnya, hanya masyarakat yang sadar dan melek media yang mampu melawan perbudakan algoritma. Kita butuh masyarakat yang tidak mudah hanyut dalam arus viral, tetapi kritis dan selektif dalam setiap klik, like, komentar, dan share.
Membangun Ekosistem Media Sosial yang Sehat dan Islami
Dalam konteks kita sebagai masyarakat yang mayoritas Muslim, tentu kita tidak bisa memisahkan praktik bermedia sosial dari nilai-nilai Islam. Rasulullah SAW telah memberikan pedoman tentang pentingnya menjaga lisan, menjauhi ghibah, tidak menyebarkan fitnah, dan mengedepankan kebenaran.
Hari ini, semua itu juga berlaku di media sosial. Lisan kita telah berpindah ke jari-jari. Ghibah berubah bentuk menjadi konten “spill” atau komentar julid. Fitnah hadir dalam bentuk video viral tanpa verifikasi. Maka, kewajiban moral kita untuk menjaga adab digital menjadi semakin besar.
Kami dari Prodi KPI IAIH Pancor mendorong lahirnya konten-konten Islami yang kontekstual, segar, dan bermutu, bukan hanya ceramah kaku, tetapi narasi yang relevan dengan generasi muda. Misalnya, konten edukasi tentang bahaya pernikahan dini yang dikemas kreatif. Atau video pendek tentang filosofi tradisi Lombok yang sarat makna, bukan dramatisasi yang menyesatkan.
Seruan: Jadilah Pengguna Media Sosial yang Merdeka!
Akhirnya, saya ingin menyampaikan seruan kepada seluruh masyarakat Lombok: Jadilah pengguna media sosial yang merdeka! Jangan biarkan algoritma menentukan arah berpikir kita. Jangan biarkan keinginan viral memenjarakan nurani kita.
Kita harus berani berkata “tidak” pada konten yang menyesatkan, sekalipun itu dari orang terdekat. Kita harus berani unfollow akun yang hanya mengejar sensasi. Kita harus berani membuat konten yang mungkin tidak viral, tetapi bermakna.
Menjadi bijak di era digital bukan berarti tidak aktif. Sebaliknya, kebijaksanaan adalah bentuk tertinggi dari keaktifan. Ia hadir dalam bentuk keberanian untuk memilah, menahan diri, dan tetap kritis di tengah banjir informasi. Mari kita gunakan media sosial sebagai ladang dakwah, ruang edukasi, dan jembatan silaturahmi. Bukan sekadar panggung sensasi yang memperbudak jiwa.
FYP bukanlah musuh, tetapi juga bukan tujuan. Media sosial bukan tempat kita mencari jati diri, tetapi tempat mengekspresikan jati diri yang sudah terbentuk. Jangan biarkan kita diperbudak oleh layar. Jangan biarkan budaya viral mengaburkan nilai. Jadilah pengguna media sosial yang sadar, cerdas, dan merdeka!
Dengan semangat ini, mari kita bangun budaya digital masyarakat Lombok yang sehat, beradab, dan mencerdaskan. Dari kampus, dari rumah, dari desa-desa kita. Karena masa depan komunikasi bukan hanya soal teknologi, tetapi soal tanggung jawab moral kita dalam menggunakannya.