Notification

×

Iklan

Iklan

Ekowisata atau Eksploitasi? Kaprodi KPI IAIH Pancor Menyoroti Akar Masalah Pariwisata di Lombok Timur

Kamis, 22 Mei 2025 | Mei 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T03:05:03Z


kpiiaihpancornews.com - Lombok Timur dianugerahi bentang alam yang mempesona, dari pantai-pantai eksotis, seperti Pantai Pink dan Tanjung Bloam, hingga kawasan pegunungan, seperti Gunung Rinjani dan berbagai air terjun alami yang memesona. Sayangnya, kekayaan alam yang semestinya menjadi aset berharga itu kini justru menghadapi ancaman serius. Sebagai Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan keprihatinan atas lemahnya pengelolaan lingkungan dalam sektoriwisata di daerah ini, yaitu:


Sampah Plastik dan Limbah Wisata: Luka Menganga di Surga Wisata

Fenomena yang paling mencolok dan menyedihkan adalah menumpuknya sampah plastik dan limbah wisata, terutama di kawasan pesisir dan pegunungan. Berdasarkan pantauan lapangan dan laporan masyarakat, Pantai Tanjung Ringgit dan Pantai Kaliantan kini dipenuhi oleh sampah plastik sisa konsumsi wisatawan. Ironisnya, banyak pengunjung yang dengan enteng membuang sampah sembarangan, tanpa ada upaya dari pengelola wisata untuk menyediakan tempat sampah yang memadai atau petugas kebersihan yang aktif.


Di kawasan jalur pendakian Rinjani, tumpukan sampah makanan instan, botol plastik, dan peralatan camping bekas menjadi pemandangan yang lumrah. Belum lagi limbah manusia yang mencemari sumber air di sekitar pos pendakian. Hal ini, bukan hanya merusak estetika alam, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi ekosistem dan kesehatan masyarakat sekitar.


Kerusakan Ekosistem karena Minimnya Kontrol dan Edukasi

Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi karena sampah, tetapi juga akibat kurangnya kontrol terhadap jumlah pengunjung dan tidak adanya edukasi lingkungan yang memadai. Ambil contoh Air Terjun Jeruk Manis dan Mangku Sakti di kawasan Sembalun. Kawasan ini kerap diserbu wisatawan tanpa ada pembatasan jumlah kunjungan. Akibatnya, jalur setapak rusak, vegetasi liar terinjak, dan satwa endemik terganggu habitatnya.


Lebih menyedihkan lagi, banyak wisatawan yang bahkan tidak menyadari pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka masuk ke kawasan konservasi tanpa pemandu, melakukan vandalisme di bebatuan atau pohon, dan membuang limbah di area sekitar sumber mata air. Ini menunjukkan lemahnya literasi ekologi di kalangan pengunjung.


Eksploitasi Alam tanpa Kendali: Di Mana Regulasi dan Pengawasan?

Pariwisata berbasis alam mestinya bersifat berkelanjutan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan eksploitasi tanpa kendali. Beberapa pelaku wisata membuka akses ke tempat-tempat "hidden gem" yang sebelumnya tidak tersentuh, demi mengejar keuntungan semata. Mereka membuat jalur kendaraan ke dalam hutan, merusak terumbu karang untuk snorkeling tanpa izin, dan mendirikan fasilitas wisata tanpa studi dampak lingkungan.


Minimnya regulasi dan pengawasan dari pemerintah daerah memperparah keadaan. Hingga kini belum ada sistem perizinan terpadu dan ketat bagi pelaku usaha wisata di Lombok Timur. Banyak kawasan wisata dibuka tanpa koordinasi dengan dinas lingkungan hidup atau dinas pariwisata. Padahal, dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan kawasan wisata wajib memenuhi prinsip keberlanjutan dan tidak merusak ekosistem.


Tanggung Jawab Bersama: Peran Negara, Masyarakat, dan Akademisi

Sebagai bagian dari institusi pendidikan, kami di Prodi KPI IAIH Pancor percaya bahwa isu ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah atau pelaku wisata semata. Harus ada kesadaran kolektif bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab bersama. Negara harus hadir melalui kebijakan yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten. Pemerintah daerah mesti menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan menyertakan sanksi tegas bagi pelaku yang merusak alam.


Masyarakat lokal juga harus diberdayakan, bukan hanya sebagai penonton tetapi sebagai penjaga dan pelaku utama dalam pengelolaan wisata. Banyak komunitas lokal yang memiliki kearifan tradisional dalam menjaga hutan dan laut. Kearifan ini harus diintegrasikan dalam sistem pengelolaan modern. Kami juga mendorong agar konsep wisata berbasis komunitas (community-based tourism) diperkuat agar masyarakat mendapat manfaat ekonomi sekaligus menjadi pelindung alam.


Di sisi lain, perguruan tinggi, khususnya Prodi KPI IAIH Pancor, memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran ekologis. Melalui media, literasi digital, dan kampanye publik, kami bisa menyebarkan pesan-pesan pelestarian lingkungan yang efektif. Mahasiswa Prodi KPI IAIH Pancor harus menjadi agen perubahan yang mampu menyuarakan pentingnya wisata berkelanjutan melalui konten kreatif, edukatif, dan menyentuh emosi publik.


Praktik Baik dan Harapan Masa Depan

Meski tantangan besar membentang, kita tidak boleh kehilangan harapan. Beberapa inisiatif baik mulai tumbuh di Lombok Timur. Misalnya, kelompok pemuda di Ekas dan Jerowaru yang membentuk relawan bersih pantai setiap pekan, atau komunitas pendaki di Sembalun yang menerapkan sistem "bawa turun sampahmu". Ini adalah contoh kecil namun berdampak besar jika dikembangkan secara sistematis.


Kami di Prodi KPI IAIH Pancor juga telah melakukan program pengabdian masyarakat dengan mengedukasi siswa sekolah dan komunitas lokal tentang pentingnya etika lingkungan dalam pariwisata. Kami percaya bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil dan konsisten.


Seruan untuk Aksi

Pariwisata Lombok Timur berada di persimpangan jalan: antara menjadi surga lestari atau menjadi kisah tragis kehancuran ekologis. Kita tidak bisa terus membiarkan alam dieksploitasi tanpa kendali. Jika tidak segera diambil tindakan nyata, maka kita akan kehilangan warisan berharga untuk generasi mendatang.


Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya mengajak semua pihak untuk merefleksikan kembali arah pembangunan pariwisata kita. Mari kita hentikan eksploitasi, mulai kelola dengan bijak, dan jadikan pariwisata sebagai sarana memperkuat relasi manusia dengan alam, bukan sebagai alat penghancurnya. Ini adalah panggilan moral, sosial, dan spiritual kita bersama.


Lombok Timur layak menjadi model pariwisata berkelanjutan dan itu hanya bisa terjadi jika kita semua bergerak dari kesadaran menuju tindakan.

×
Berita Terbaru Update