Notification

×

Iklan

Iklan

Merariq Kodeq dan Budaya FYP: Sebuah Seruan Kritis dari Kaprodi KPI IAIH Pancor

Jumat, 23 Mei 2025 | Mei 23, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-23T12:42:12Z

Oleh : Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos.

Kaprodi KPI IAIH Pancor


kpiiaihpancornews.com - Beberapa hari terakhir, jagat maya dihebohkan oleh beredarnya video pernikahan sepasang remaja di Lombok. Video tersebut dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, memancing ribuan komentar dari warganet, baik yang bernada kagum, bercanda, hingga yang mengkritik keras. Di balik kehebohan dan sensasi yang dihasilkan, terdapat masalah serius yang luput dari perhatian banyak orang: praktik merariq kodeq dan budaya media sosial yang kian bergeser ke arah eksploitasi demi “viral” atau FYP.


Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya merasa perlu menyampaikan keresahan sekaligus ajakan kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda dan para orang tua, untuk lebih bijak dalam bermedia sosial. Viralitas bukanlah tolak ukur kebenaran dan sensasi bukanlah alasan untuk mengorbankan masa depan anak-anak kita.


Fenomena Merariq Kodek: Tradisi, Tekanan Sosial, dan Ketidaksiapan

Merariq kodeq bukanlah hal baru di Lombok, maupun di berbagai daerah lain di Indonesia. Dalam beberapa konteks, praktik ini masih dibingkai dalam tradisi atau nilai budaya tertentu. Namun, ketika pernikahan dilakukan tanpa kesiapan mental, emosional, dan finansial. Hal ini, akan lebih banyak membawa dampak negatif daripada kebaikan.


Dalam konteks video yang viral baru-baru ini, terlihat bagaimana pasangan pengantin yang masih sangat muda dikemas dalam sebuah prosesi adat yang megah. Wajah polos sang mempelai perempuan yang mengenakan riasan dan busana adat terlihat kontras dengan kenyataan usia dan kematangan dirinya. Beberapa komentar warganet bahkan menanyakan usia sang mempelai.


Pertanyaan besarnya adalah apakah ini murni tradisi, ataukah kita sedang menyaksikan anak-anak yang terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya karena tekanan sosial dan budaya?


Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa angka pernikahan dini di NTB, termasuk Lombok, masih tergolong tinggi. Bahkan, masa pandemi COVID-19 sempat memperparah situasi ini karena banyaknya anak-anak putus sekolah dan meningkatnya tekanan ekonomi keluarga.


Media Sosial dan Budaya Viral: Antara Dokumentasi dan Eksploitasi

Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata dari peran media sosial dalam mengangkat isu ini ke permukaan. Sayangnya, bukan untuk tujuan edukasi atau advokasi, melainkan demi viralitas semata. Video yang diunggah ke TikTok, Facebook, youtube maupun Instagram tersebut tidak hanya menampilkan momen pernikahan, tetapi juga mempermainkan emosi penonton lewat musik latar, potongan narasi dramatis, dan estetika visual yang sengaja dirancang agar menarik perhatian algoritma.


Inilah budaya FYP yang hari ini sedang kita hadapi. Sebuah budaya di mana segala hal, bahkan yang bersifat pribadi, rentan, dan penuh konsekuensi yang dijadikan bahan tontonan demi like, share, dan komentar. Kita semakin terbiasa mengejar atensi, tetapi lupa mempertimbangkan dampak psikologis dan sosialnya terhadap subjek yang ditampilkan.


Saya khawatir, praktik semacam ini justru akan mendorong remaja lain untuk ikut-ikutan. Mereka berpikir, “Kalau menikah muda bisa viral dan terkenal, kenapa tidak?” Padahal, kehidupan rumah tangga bukan sekadar seremoni. Ia adalah tanggung jawab besar yang tidak bisa dijadikan konten hiburan.


Peran Orang Tua dan Lembaga Pendidikan: Membangun Kesadaran Kritis

Tanggung jawab besar ada di pundak orang tua dan lembaga pendidikan. Orang tua harus menyadari bahwa merariq kodeq bukan solusi, melainkan potensi masalah baru, terlebih bila anak belum siap secara mental dan ekonomi. Orang tua juga harus peka terhadap cara media sosial bekerja. Jangan sampai demi kebanggaan sesaat menjadi "keluarga viral" mereka membiarkan anak-anak mereka menjadi korban eksploitasi digital.


Lembaga pendidikan, termasuk kami di Ptodi KPI IAIH Pancor, memegang peran penting dalam membangun kesadaran kritis terhadap media. Mahasiswa kami diajarkan untuk memahami dinamika media, termasuk bagaimana algoritma bekerja, bagaimana etika dalam jurnalisme dan penyiaran, serta bagaimana menyampaikan pesan-pesan sosial dengan cara yang mendidik.


Kita tidak bisa melarang media sosial. Tetapi kita bisa membekali generasi muda dengan kemampuan untuk menggunakan media secara bijak. Kita harus ajarkan bahwa tidak semua hal layak dibagikan dan tidak semua yang viral itu patut ditiru.


Regulasi dan Perlindungan Anak: Negara Tidak Boleh Diam

Merariq kodeq adalah bentuk kekerasan struktural terhadap anak. Ini bukan hanya soal adat atau kesepakatan keluarga. Ini soal hak anak untuk tumbuh, belajar, dan menentukan masa depannya sendiri. Negara melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal menikah adalah 19 tahun. Maka, jika ada pernikahan yang terjadi di bawah usia ini, apalagi tanpa persetujuan pengadilan, itu berarti melanggar hukum.


Sayangnya, dalam praktiknya, hukum ini sering diakali atau tidak ditegakkan dengan serius. Aparat pemerintah, tokoh adat, dan bahkan sebagian pendidik kerap memilih jalan kompromi ketimbang mengambil sikap tegas. Ini harus diubah. Negara tidak boleh diam, dan masyarakat sipil harus aktif mengawasi.


Membangun Ekosistem Media Sosial yang Sehat dan Mendidik

Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya mengajak seluruh masyarakat Lombok, khususnya anak-anak muda, untuk mulai membangun ekosistem media sosial yang lebih sehat. Gunakan media untuk berbagi hal-hal positif, inspiratif, dan mendidik. Hindari mengejar sensasi, terutama yang melibatkan anak-anak atau remaja dalam situasi yang rentan.


Mari kita viralkan konten tentang keberhasilan pendidikan, prestasi anak-anak muda, dan kampanye kesadaran sosial. Mari kita ciptakan tren yang baru, di mana menjadi viral bukan berarti melanggar norma dan etika, tetapi justru menjadi agen perubahan yang membawa dampak nyata bagi masyarakat.


Kembali ke Akar dalam Mengawal Masa Depan

Masyarakat Lombok dikenal dengan nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi: gotong royong, saling menghormati, dan menjaga martabat keluarga. Jangan biarkan nilai-nilai ini luntur hanya karena terpukau pada sorotan kamera dan popularitas sesaat.


Merariq kodeq bukanlah ajang unjuk eksistensi di media sosial. Ia adalah keputusan besar yang membutuhkan kesiapan lahir dan batin. Jangan gadaikan masa depan anak-anak kita hanya untuk satu atau dua menit ketenaran.


Sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya mengajak seluruh lapisan masyarakat: mari kita bijak dalam bermedia sosial, mari kita edukasi anak-anak kita dengan cinta dan tanggung jawab, dan mari kita jaga tradisi dengan akal sehat serta nilai kemanusiaan. Kita tidak butuh FYP untuk menjadi masyarakat yang maju. Kita butuh kesadaran, empati, dan keberanian untuk mengatakan cukup atas eksploitasi dalam bentuk apa pun, termasuk yang dibungkus dengan label “tradisi” atau “konten viral”.

×
Berita Terbaru Update