Notification

×

Iklan

Iklan

Ancaman Kepala Babi: Ujian Bagi Demokrasi dan Kebebasan Pers

Sabtu, 22 Maret 2025 | Maret 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-22T16:01:11Z
Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos.
Dosen KPI IAIH Pancor


kpiiaihpancornews.com - Teror terhadap jurnalis kembali mencoreng wajah demokrasi kita. Kasus terbaru yang menimpa Fransisca Christy Rosana, seorang jurnalis Tempo sekaligus host kanal youtube "Bocor Alus Politik", dengan diterimanya paket kepala babi tanpa telinga, bukan sekadar ancaman personal. Ini adalah simbol kekerasan yang bertujuan membungkam suara kritis dan mengintimidasi pers yang independen.


Namun, di balik teror yang kasar ini, ada sebuah ironi yang tak terelakkan. Semakin keras upaya membungkam, semakin besar gelombang solidaritas yang muncul. Masyarakat yang peduli akan kebebasan pers tidak akan tinggal diam. Mereka tahu bahwa ancaman terhadap satu jurnalis adalah ancaman terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran. Kepala babi tanpa telinga adalah simbol kekejian yang penuh pesan. Ia mencerminkan keinginan untuk memotong jalur komunikasi, melumpuhkan keberanian, dan mengubur fakta yang seharusnya tersampaikan. Tetapi, sejarah telah berkali-kali menunjukkan bahwa teror semacam ini justru sering kali menjadi titik balik. Ketakutan yang hendak ditanamkan kerap berbuah keberanian yang lebih besar.


Fransisca, seperti banyak jurnalis lainnya, menjalankan tugas yang esensial dalam demokrasi: memantau kekuasaan, menyuarakan ketidakadilan, dan membongkar fakta yang disembunyikan. Perannya bukan sekadar melaporkan peristiwa, tetapi juga menjadi saksi atas apa yang terjadi di sekitar kita. Ketika teror diarahkan padanya, masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk berdiri bersama, menolak intimidasi, dan menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidak bisa ditoleransi.


Tanggung jawab ini tidak hanya ada di pundak masyarakat sipil, tetapi juga pemerintah dan aparat penegak hukum. Komitmen untuk melindungi kebebasan pers harus diwujudkan melalui tindakan nyata. Penyelidikan yang transparan dan independen terhadap kasus ini adalah langkah awal yang tak bisa ditawar. Pelaku teror harus diadili, bukan dibiarkan bebas berkeliaran. Jika negara gagal memberikan perlindungan yang layak bagi jurnalis, maka demokrasi itu sendiri yang sedang berada di ujung tanduk.


Selain itu, organisasi pers, lembaga hak asasi manusia, dan komunitas internasional juga memiliki peran krusial. Mereka harus terus bersuara, mendesak keadilan, dan memberikan dukungan moral kepada korban intimidasi. Kampanye solidaritas, publikasi berita, dan tekanan diplomatik adalah alat yang efektif untuk memastikan bahwa kasus seperti ini tidak dibiarkan begitu saja.


Teror terhadap Fransisca juga mengingatkan kita bahwa kebebasan pers adalah hak yang harus terus diperjuangkan. Demokrasi tidak dapat tumbuh subur tanpa media yang berani dan independen. Oleh karena itu, melindungi jurnalis berarti melindungi pilar demokrasi itu sendiri.


Kita tidak boleh gentar. Teror kepala babi tanpa telinga tidak akan mampu membungkam suara kebenaran. Justru, inilah saatnya bagi kita semua untuk bersuara lebih lantang, menunjukkan bahwa intimidasi tak akan pernah menang melawan keberanian dan solidaritas.


Kepada Fransisca dan semua jurnalis yang terus berdiri di garis depan, kami berdiri bersama kalian. Karena dalam setiap kata yang kalian tulis, ada cahaya kebenaran yang terus menyala, menantang kegelapan yang mencoba menutupinya.

×
Berita Terbaru Update