Notification

×

Iklan

Iklan

Dari Scroll ke Solve: Saatnya Anak Muda Jadi Solusi

Rabu, 10 September 2025 | September 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-10T08:27:03Z
Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos.
Kaprodi KPI IAIH Pancor


kpiiaihpancornewscom - Kita hidup di era ketika jempol lebih aktif daripada kaki dan layar lebih sering menatap kita daripada sesama manusia. Generasi muda hari ini tumbuh dalam ekosistem digital yang serba cepat, serba instan, dan serba visual. Media sosial telah menjadi ruang publik baru, tempat anak muda membentuk identitas, berinteraksi, bahkan belajar. Namun, ada satu pola yang semakin kentara: kebiasaan scrolling tanpa henti.


Menurut laporan We Are Social dan Meltwater 2025, rata-rata orang Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam 6 menit per hari di media sosial. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pengguna media sosial paling aktif di dunia. Anak muda, tentu saja, menjadi motor utama dari angka tersebut. Sekilas, hal ini menunjukkan keterhubungan dan literasi digital yang tinggi. Tetapi jika diperhatikan lebih jauh, waktu berjam-jam tersebut lebih banyak dihabiskan untuk mengonsumsi hiburan, mengikuti tren viral, atau sekadar scrolling tanpa arah.


Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan teknis, tetapi pola pikir baru. Generasi scroll cenderung pasif, reaktif terhadap informasi, dan mudah terbawa arus tren. Padahal, tantangan zaman menuntut lebih dari sekadar kepiawaian menggulir layar. Dunia sedang menghadapi masalah kompleks: krisis iklim, disrupsi pekerjaan akibat kecerdasan buatan, maraknya disinformasi politik, hingga masalah kesehatan mental. Semua itu tidak bisa diselesaikan dengan jempol, tetapi dengan kepala dan hati.


Dari Scroll ke Solve: Urgensi Transformasi

Transformasi dari scroll ke solve berarti mengubah pola pikir anak muda dari konsumen konten menjadi produsen solusi. Perubahan ini membutuhkan dua kunci utama, yaitu kreativitas dan nalar kritis.


Kreativitas adalah kemampuan melahirkan ide baru yang bermanfaat, sementara nalar kritis adalah kemampuan memilah informasi, menganalisis masalah, dan merumuskan keputusan. Tanpa kreativitas, generasi muda hanya akan meniru. Tanpa nalar kritis, mereka akan mudah dimanipulasi oleh hoaks, propaganda, dan algoritma media sosial.


Kedua kemampuan ini saling melengkapi. Kreativitas tanpa nalar kritis bisa menghasilkan inovasi semu yang hanya mengikuti tren, sedangkan nalar kritis tanpa kreativitas bisa menjelma menjadi skeptisisme kering tanpa solusi. Generasi muda yang ideal adalah mereka yang mampu menyeimbangkan keduanya, yaitu kreatif dalam mencipta dan kritis dalam menilai.


Media Sosial: Antara Jerat dan Kesempatan

Media sosial sering dipandang sebagai biang keladi pasifnya generasi muda. Namun sejatinya, ia hanyalah alat yang menentukan apakah media sosial menjadi jerat atau peluang adalah bagaimana generasi muda menggunakannya.


Banyak contoh positif yang bisa diangkat. Gerakan lingkungan #TeamTrees yang dipelopori oleh YouTuber MrBeast berhasil menanam lebih dari 20 juta pohon dengan dukungan donasi publik melalui media sosial. Di Indonesia, anak muda menggunakan TikTok dan Instagram untuk mempromosikan UMKM lokal, menggalang donasi untuk korban bencana, atau menyebarkan literasi kesehatan mental.


Ini bukti bahwa media sosial tidak harus menjadi ruang konsumsi pasif. Jika digunakan dengan kreativitas dan nalar kritis, ia bisa menjadi ruang produksi gagasan, advokasi publik, bahkan solusi nyata.


Potensi Kreativitas Anak Muda Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara dengan bonus demografi. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2025, sekitar 65% penduduk Indonesia berada dalam usia produktif. Artinya, sebagian besar dari mereka adalah generasi muda yang akrab dengan teknologi digital.


Potensi ini luar biasa jika diarahkan pada jalur produktif. Dunia kreatif, misalnya, telah menunjukkan bahwa anak muda Indonesia bisa bersaing secara global. Film “Ngeri-Ngeri Sedap” karya Bene Dion bahkan berhasil masuk dalam nominasi Oscar 2023 untuk kategori film internasional. Di ranah musik, musisi muda Indonesia seperti NIKI, Rich Brian atau Pamungkas berhasil menembus pasar global berkat platform digital.


Jika kemampuan kreatif itu dipadukan dengan nalar kritis, maka akan lahir generasi muda yang tidak hanya mencipta karya, tetapi juga menghadirkan solusi sosial. Misalnya, aplikasi start up yang lahir dari masalah sehari-hari: transportasi publik, akses pendidikan, hingga layanan kesehatan.


Mengasah Nalar Kritis: Dari Hoaks ke Literasi

Tantangan terbesar anak muda di era digital adalah banjir informasi. Menurut data Kominfo, pada 2024 tercatat lebih dari 5.000 konten hoaks beredar di ruang digital Indonesia, terutama terkait politik, kesehatan, dan agama. Tanpa nalar kritis, anak muda akan mudah menjadi korban sekaligus penyebar hoaks.


Nalar kritis mengajarkan kita untuk bertanya: Apakah informasi ini benar? Dari sumber mana? Apa motif di baliknya? Sikap skeptis semacam ini penting agar anak muda tidak sekadar share atau retweet, tetapi mampu menganalisis dampaknya.


Lebih jauh, nalar kritis juga bisa diarahkan untuk membaca realitas sosial. Anak muda yang terbiasa berpikir kritis akan lebih peka terhadap masalah di sekitarnya: sampah plastik yang menumpuk, akses pendidikan yang timpang atau ketidakadilan sosial. Dari kepekaan itu lahirlah dorongan untuk mencari solusi.


Pendidikan sebagai Arena Transformasi

Sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang yang mengasah kreativitas dan nalar kritis, bukan hanya tempat menyimpan hafalan. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung menekankan pada nilai ujian, bukan keterampilan berpikir.


Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan berbasis proyek (project-based learning) lebih efektif dalam melatih kreativitas dan nalar kritis. Anak muda tidak hanya belajar teori, tetapi juga terjun langsung memecahkan masalah nyata: merancang kampanye lingkungan, membuat aplikasi sederhana, atau memproduksi film pendek bertema sosial.


Kampus dan komunitas kreatif juga bisa berkolaborasi untuk menciptakan ruang eksperimen. Diskusi publik, lokakarya kreatif, hingga kompetisi inovasi sosial bisa menjadi wadah transformasi dari scroll ke solve.


Studi Kasus: Gerakan Lokal Anak Muda

Beberapa contoh gerakan anak muda di Indonesia bisa dijadikan inspirasi, sebagai berikut:

  1. Gerakan #BijakBersosmed yang dipelopori komunitas pemuda di Jakarta berhasil mengedukasi ribuan remaja tentang bahaya hoaks dan pentingnya literasi digital.

  2. Komunitas Malang Menanam, yang dimotori mahasiswa, berhasil menanam ribuan pohon di wilayah Malang dengan kampanye sederhana di Instagram.

  3. Mahasiswa KPI IAIH Pancor Lombok Timur yang memanfaatkan Media Sosial untuk mendokumentasikan hikayat Sasak agar tidak hilang ditelan zaman.


Gerakan-gerakan kecil ini menunjukkan bahwa transformasi dari scroll ke solve bukan utopia, melainkan sesuatu yang mungkin jika anak muda berani memulai


Hambatan dan Tantangan

Tentu saja, transformasi ini tidak mudah. Ada beberapa hambatan yang dihadapi generasi muda, antara lain:

  1. Budaya instan. Media sosial membuat kita terbiasa dengan hasil cepat. Padahal, solusi nyata membutuhkan proses panjang.

  2. FOMO (Fear of Missing Out). Rasa takut ketinggalan tren membuat anak muda lebih sibuk mengikuti arus ketimbang mencipta.

  3. Kurangnya dukungan sistem. Banyak anak muda kreatif yang tidak mendapat dukungan infrastruktur, pendanaan, dan ruang ekspresi.


Mengatasi hambatan ini membutuhkan sinergi antara individu, komunitas, dan negara. Pemerintah perlu menyediakan ruang kreatif dan akses pendanaan, sementara anak muda harus berani melawan budaya instan dengan kerja keras dan konsistensi.


Dari Pasif ke Solutif: Arah Baru Generasi Muda

Transformasi dari scroll ke solve pada akhirnya adalah soal keberanian. Berani keluar dari zona nyaman sebagai konsumen, lalu masuk ke arena pencipta solusi. Berani mengubah kebiasaan pasif menjadi aktif dan sikap reaktif menjadi solutif.


Generasi muda harus menjadikan media sosial bukan hanya ruang hiburan, tetapi juga arena advokasi, inovasi, dan kolaborasi. Setiap scroll seharusnya diiringi pertanyaan: Apa yang bisa saya lakukan? Dari pertanyaan itulah lahir langkah kecil menuju perubahan besar.


Penutup: Generasi Solve, Generasi Masa Depan

Masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita menggulir layar, tetapi seberapa berani kita menggulir ide. Generasi muda Indonesia punya semua modal: kreativitas yang kaya, akses teknologi yang luas, dan energi yang melimpah. Yang dibutuhkan hanyalah nalar kritis untuk menuntun kreativitas itu menjadi solusi nyata.


Dari scroll ke solve bukan sekadar slogan, melainkan panggilan zaman. Jika transformasi ini berhasil, generasi muda Indonesia tidak akan dikenang sebagai generasi pasif yang larut dalam tren, melainkan sebagai generasi kreatif dan kritis yang mampu memecahkan masalah bangsanya.


Saat itu tiba, dunia tidak lagi menyebut kita “generasi scroll”, melainkan “generasi solve” generasi yang mencipta, mengkritisi, dan memberi solusi.

×
Berita Terbaru Update