Notification

×

Iklan

Iklan

Hultah NWDI ke-90 dan Haul ke-28 TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid: Menjaga Warisan, Menyongsong Peradaban

Jumat, 12 September 2025 | September 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-12T07:37:48Z
Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos.
Kaprodi KPI IAIH Pancor


kpiiaihpancornewscom - 90 Tahun adalah usia yang panjang bagi sebuah lembaga pendidikan, apalagi lahir di tengah keterbatasan infrastruktur, sumber daya, dan tekanan kolonialisme. Namun, itulah catatan sejarah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), madrasah yang didirikan oleh Al-Maghfurullāh Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Pancor, Lombok Timur, pada 1937.


NWDI bukan sekadar sekolah, ia adalah gerakan pembaruan pendidikan Islam di Lombok. Sebelum berdirinya NWDI, masyarakat Sasak masih banyak yang terkungkung dalam tradisi keagamaan tanpa akses pada pendidikan formal yang terstruktur. Maulana Syaikh hadir dengan gagasan visioner dengan mendirikan madrasah modern yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum. Dari sinilah jalan panjang peradaban Lombok dan NTB mulai berubah.


Hultah NWDI ke-90 tahun 2025 ini tidak berdiri sendiri. Ia bersanding dengan peringatan Haul ke-28 wafatnya Maulana Syaikh, seorang ulama besar yang bukan hanya milik Lombok, tetapi milik Indonesia. TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2017, pengakuan negara atas jasanya dalam pendidikan, dakwah, dan perjuangan kebangsaan.


Pendidikan sebagai Jalan Kemerdekaan

Sejak awal, Maulana Syaikh percaya bahwa kemerdekaan tidak hanya dicapai dengan senjata, melainkan juga dengan pena dan pendidikan. Di tengah situasi penjajahan, beliau mendirikan NWDI sebagai ruang pencerahan. Melalui pendidikan, generasi muda Sasak dibekali ilmu agama yang kuat sekaligus wawasan modern yang membuka cakrawala.


Langkah ini adalah bentuk keberanian. Sebab pada masa itu, madrasah modern masih dipandang asing oleh sebagian masyarakat. Namun Maulana Syaikh menegaskan bahwa Islam tidak boleh tertinggal dari zaman. Pendidikan adalah jalan untuk mengangkat martabat umat, membebaskan dari kebodohan, dan pada akhirnya menjadi benteng dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Hingga kini, gagasan itu tetap relevan. Pendidikan adalah modal utama menghadapi era digital, globalisasi, dan persaingan internasional. Tanpa pendidikan, Lombok dan NTB akan sulit keluar dari jerat kemiskinan struktural. Dan warisan Maulana Syaikh berupa jaringan madrasah, pondok pesantren, hingga universitas di bawah bendera Nahdlatul Wathan adalah aset besar yang tidak dimiliki semua daerah.


Jejak yang Terasa hingga Kini

Usia 90 tahun NWDI adalah bukti konsistensi. Dari sebuah madrasah sederhana, kini jaringan NWDI melahirkan:

  1. Ribuan madrasah dan pesantren yang tersebar di Lombok, Sumbawa, Bali, hingga daerah lain di Indonesia.

  2. Perguruan tinggi, seperti IAIH Pancor, Universitas Hamzanwadi, dan Mahad yang menjadi pusat pendidikan tinggi di NTB.

  3. Puluhan ribu guru, kiai, ustaz, dan cendekiawan yang mewarnai kehidupan sosial, politik, dan budaya di Lombok hingga luar daerah.

  4. Gerakan sosial-keagamaan yang berperan dalam menjaga moderasi Islam dan persatuan bangsa.


Data menunjukkan bahwa kontribusi NWDI sangat besar dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di NTB. Melalui jaringan sekolah dan pesantren, akses pendidikan masyarakat pedesaan semakin terbuka. Banyak alumni NWDI yang menjadi guru, dosen, bahkan pejabat publik, sehingga kiprahnya nyata dalam pembangunan.


Haul: Do'a, Teladan, dan Energi Moral

Haul ke-28 Maulana Syaikh bukan sekadar tradisi keagamaan. Ia adalah ruang kolektif untuk berdo'a, meneladani, dan memperbarui komitmen moral. Melalui haul, generasi penerus diingatkan bahwa perjuangan besar lahir dari keikhlasan, kesederhanaan, dan konsistensi.


Teladan Maulana Syaikh terletak pada integritasnya. Beliau bukan hanya ulama, tetapi juga pejuang bangsa. Ia aktif dalam perjuangan kemerdekaan, membela tanah air dengan semangat jihad melawan kolonialisme. Namun, setelah Indonesia merdeka, beliau tetap konsisten membangun melalui pendidikan dan dakwah, bukan terjebak dalam politik kekuasaan.


Hari ini, meneladani beliau berarti menjaga integritas di tengah krisis moral, mengedepankan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi, serta berjuang dengan ikhlas meskipun hasilnya tidak selalu instan. Haul menjadi ruang untuk meneguhkan kembali nilai-nilai itu.


Tantangan Era Baru

Kebanggaan pada warisan ini tidak boleh membuat kita berpuas diri. Dunia bergerak cepat, dan NWDI menghadapi tantangan baru yang tidak ringan, antara lain:

  1. Kualitas pendidikan. Kurikulum madrasah harus diperkuat dengan literasi digital, sains, teknologi, dan keterampilan abad ke-21 tanpa mengurangi kedalaman ilmu agama.

  2. Globalisasi nilai. Generasi muda kini hidup di era media sosial dengan banjir informasi. Pendidikan NWDI harus mampu menanamkan filter moral dan critical thinking agar mereka tidak mudah terjerumus pada paham radikal maupun hedonisme kosong.

  3. Ketimpangan ekonomi. NTB masih berhadapan dengan masalah kemiskinan dan pengangguran. Pesantren dan sekolah NWDI dapat berperan sebagai pusat pemberdayaan ekonomi lokal, misalnya melalui koperasi santri atau pelatihan kewirausahaan.

  4. Lingkungan hidup. Lombok sebagai daerah wisata menghadapi tekanan ekologis. Pendidikan berbasis pesantren dapat menjadi pionir dalam gerakan eco-pesantren, menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini.


Menyongsong Peradaban: Apa yang Harus Dilakukan?

Hultah NWDI ke-90 dan Haul Maulana Syaikh ke-28 harus dijadikan titik balik. Bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi menyusun peta jalan masa depan. Ada beberapa langkah strategis, sebagai berikut:

  1. Modernisasi kurikulum. Mengintegrasikan pelajaran agama, sains, teknologi, dan kewirausahaan.

  2. Penguatan kapasitas guru. Melatih guru-guru madrasah agar melek digital, inovatif, dan mampu membimbing siswa menghadapi dunia baru.

  3. Kolaborasi lintas organisasi. Bekerja sama dengan pemerintah, perguruan tinggi, dan ormas lain dalam program pendidikan, sosial, dan lingkungan.

  4. Pemberdayaan perempuan. Melanjutkan warisan Maulana Syaikh yang sejak awal memperjuangkan pendidikan perempuan melalui Nahdlatul Banat.

  5. Pengembangan ekonomi pesantren. Membentuk koperasi santri, inkubasi bisnis, hingga produk ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.

  6. Digitalisasi dakwah dan pendidikan. Memanfaatkan media sosial dan teknologi sebagai sarana dakwah kreatif yang tetap berlandaskan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.


Penutup: Momentum yang Tidak Boleh Hilang

Hultah ke-90 NWDI dan Haul ke-28 Maulana Syaikh adalah momentum emas. Dari sini kita belajar bahwa warisan besar bukan untuk ditaruh di museum sejarah, melainkan untuk dijaga, dikembangkan, dan diwariskan kembali.


Maulana Syaikh telah memberi fondasi: pendidikan, kesederhanaan, dan keberanian berpikir maju. Tugas generasi kini adalah menafsirkan ulang warisan itu dalam konteks baru: era digital, globalisasi, dan tantangan lingkungan.


Jika NWDI mampu menjawab tantangan itu, maka usia 90 tahun bukanlah titik akhir, melainkan babak baru perjuangan peradaban Lombok, NTB, dan Indonesia. Sebab warisan sejati bukan hanya apa yang ditinggalkan, tetapi apa yang kita teruskan dengan penuh keberanian.

×
Berita Terbaru Update