kpiiaihpancornews.com - Di tengah gegap gempita peringatan Hari Kartini yang setiap tahun dirayakan dengan kebaya, lomba pidato, hingga parade budaya, terselip satu ironi yang perlu kita sadari: mengapa perayaan atas nama perjuangan perempuan kerap berlangsung dalam diamnya persoalan nyata yang dihadapi perempuan hari ini? Di balik panggung penuh bunga dan senyum itu, kekerasan terhadap perempuan tetap tinggi, pendidikan perempuan belum sepenuhnya membebaskan, dan feminisme sebagai warisan semangat emansipasi Kartini masih sering disalahpahami bahkan dilecehkan.
Hari Kartini bukan hanya momen untuk mengenang seorang tokoh. Ia semestinya menjadi momentum refleksi mendalam tentang arah dan wajah perjuangan perempuan Indonesia hari ini. Apakah cita-cita Kartini tentang kesetaraan dan pembebasan sudah benar-benar terwujud? Ataukah kita justru sedang mengabadikan Kartini sebagai simbol kosong dipuja, tetapi tidak diwarisi semangat kritisnya?
Kartini: Dari Emansipasi ke Kesadaran Kritis
Kartini menulis dengan gelisah. Ia merindukan dunia di mana perempuan bisa berpikir bebas, belajar, dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Ia tidak hanya mempertanyakan aturan adat, tapi juga menolak posisi perempuan sebagai objek budaya yang diam dan disakralkan secara pasif. Emansipasi bagi Kartini bukanlah semata tentang hak, tapi tentang kesadaran kritis dan keberanian untuk bertanya: mengapa dunia diciptakan tidak adil bagi perempuan? Kesadaran itu, hari ini, semestinya menjadi jiwa dari feminisme kontemporer.
Feminisme Kontemporer: Kemajuan Simbolik dan Ketimpangan Struktural
Feminisme kini telah masuk ke ruang publik secara lebih luas. Perempuan hadir di parlemen, memimpin korporasi, mengelola komunitas, hingga menjadi wajah kampanye sosial. Namun di balik itu semua, feminisme kontemporer juga menghadapi tantangan yang tak kalah pelik: ia sering kali direduksi menjadi simbol dan gaya hidup, bukan lagi gerakan perubahan struktural.
Di media sosial, istilah seperti girlboss, independent woman, atau self-love dikampanyekan secara massif. Namun, sering kali terlepas dari konteks kelas, ras, dan realitas ketimpangan. Feminisme menjadi narasi individualistis tentang “kamu bisa sukses sebagai perempuan” tanpa menyentuh akar persoalan sistemik: eksploitasi tenaga kerja perempuan, kekerasan berbasis gender, dan ketimpangan akses pendidikan.
Kartini tidak menulis untuk menjadi simbol. Ia menulis untuk mengubah sistem. Maka, feminisme yang mewarisi semangat Kartini seharusnya tidak berhenti pada representasi, tapi terus menuntut transformasi.
Pendidikan Perempuan: Melampaui Akses dan Menuju Pembebasan
Salah satu tema utama dalam pemikiran Kartini adalah pendidikan. Ia sadar bahwa pendidikan adalah kunci emansipasi. Namun, di era sekarang, ketika akses pendidikan bagi perempuan semakin terbuka, kita dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana memastikan pendidikan tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga membentuk kesadaran kritis?
Kurikulum hari ini jarang mengajarkan sejarah gerakan perempuan. Jarang mengajak siswa bertanya kenapa kekerasan terhadap perempuan dianggap “urusan domestik”. Jarang menantang nilai-nilai patriarkal yang direproduksi secara sistematis di sekolah dan rumah.
Di banyak tempat, perempuan memang bisa bersekolah tinggi, tapi belum tentu bisa bebas dari stereotip. Seorang perempuan yang cerdas dan vokal masih sering dicap “terlalu keras”. Seorang guru perempuan yang tidak menikah sering kali jadi bahan bisik-bisik. Ini bukan soal akses, tapi soal mentalitas sosial yang belum berubah.
Kondisi Sosial Terkini: Perempuan di Titik Rawan
Hari ini, perempuan Indonesia masih berada dalam posisi rentan di banyak sektor. Angka kekerasan berbasis gender terus meningkat. Praktik perkawinan anak masih marak di wilayah pedesaan. Beban ganda perempuan dalam kerja domestik dan publik belum dibagi secara adil. Bahkan di ruang digital pun, perempuan menjadi korban kekerasan berbasis siber, dari perundungan hingga penyebaran konten pribadi tanpa izin.
Lebih menyakitkan lagi, banyak korban yang tidak menemukan ruang aman untuk berbicara. Ketika melapor, mereka dianggap “memalukan keluarga”. Ketika bersuara, mereka dituduh “lebay” atau “merusak nama baik”. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mengagungkan Kartini, kita belum siap mewujudkan dunia yang ia bayangkan: dunia yang adil, aman, dan setara bagi perempuan.
Kartini Hari Ini: Bukan Sekadar Lambang, Tapi Tindakan
Hari Kartini semestinya bukan hanya perayaan simbolik, tapi titik tolak refleksi mendalam tentang kondisi perempuan hari ini. Kita tidak bisa terus merayakan Kartini tanpa membicarakan isu-isu mendesak yang dihadapi perempuan masa kini. Tidak bisa terus berbicara tentang kebaya dan bunga tanpa membicarakan pencegahan perkawinan anak, penghapusan kekerasan seksual, dan upaya menghadirkan kurikulum yang berpihak pada kesetaraan.
Kartini hari ini adalah perempuan yang berani bersuara di ruang-ruang yang tidak memberinya tempat. Kartini adalah ibu rumah tangga yang mendidik anaknya untuk menghargai semua gender. Kartini adalah aktivis yang memperjuangkan hak korban kekerasan. Kartini adalah buruh migran yang menolak eksploitasi. Kartini adalah setiap perempuan yang menolak diam di tengah dunia yang masih bias dan Kartini juga bisa lahir dari laki-laki yang memilih untuk menjadi sekutu yang bersedia membagi ruang, mendengar, dan membongkar privilese yang diwarisinya.
Penutup: Dari Kartini Untuk Kita
“Habis gelap, terbitlah terang,” tulis Kartini. Tapi terang itu tidak datang dengan sendirinya. Ia butuh keberanian, kesadaran, dan perjuangan kolektif. Maka, tugas kita hari ini adalah menjaga api Kartini agar tetap menyalabukan di atas panggung, tapi dalam kehidupan sehari-hari.
Jika benar kita mencintai Kartini, maka buktikan dalam tindakan. Dalam pembelaan terhadap yang lemah. Dalam perjuangan yang tidak populer. Dalam keberanian untuk berkata: dunia belum adil bagi perempuan dan kita tidak akan tinggal diam.