kpiiaihpancornews.com - Kasus pelecehan seksual yang melibatkan pimpinan salah satu pondok pesantren di Lombok kembali mencoreng wajah lembaga pendidikan keagamaan. Terlepas dari nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi pendidikan Islam, kenyataan di lapangan kerap menunjukkan ironi yang memilukan: tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan sakral justru menjadi lokasi terjadinya kejahatan seksual yang sistemik dan berulang.
Kita tidak hanya sedang berbicara soal tindakan bejat seorang individu. Kita sedang membicarakan bagaimana sistem pendidikan, kultur sosial, dan relasi kuasa dalam masyarakat kita turut serta menciptakan iklim impunitas bagi pelaku dan menjerumuskan korban dalam ruang gelap ketidakberdayaan.
Kekerasan Seksual dalam Bayang-Bayang Otoritas Keagamaan
Pelecehan seksual yang dilakukan oleh figur pemuka agama bukan hanya mencederai tubuh korban, tetapi juga merusak bangunan kepercayaan publik terhadap institusi agama. Ketika pelaku adalah sosok yang dipercaya sebagai guru spiritual, bahkan oleh orang tua korban, maka dampak traumatisnya berlapis: luka fisik, luka batin, dan pengkhianatan terhadap iman.
Ironisnya, banyak pesantren di Indonesia, termasuk di Lombok, masih berada dalam sistem pengawasan yang sangat longgar. Lemahnya mekanisme pelaporan, ketiadaan protokol perlindungan santri, serta budaya patriarkis yang mengagungkan ketaatan total terhadap kyai atau ustaz membuat pelecehan ini tak mudah terbongkar. Korban sering kali bungkam karena takut, merasa bersalah, atau bahkan diintimidasi oleh lingkungan.
Relasi kuasa yang timpang menjadi akar masalah. Ketika seorang pimpinan ponpes memiliki kendali penuh terhadap kehidupan santri mulai dari makanan, pendidikan, hingga masa depan mereka. Maka kesetaraan relasi tak mungkin terwujud. Dalam kondisi ini, pelecehan seksual bukan sekadar tindakan kriminal, tapi juga bentuk kekerasan struktural.
Budaya Tabu dan Diam: Sekutu Kejahatan
Kita harus mengakui bahwa masyarakat kita masih sangat tabu dalam membicarakan seksualitas, terlebih ketika menyangkut pelecehan seksual di lembaga keagamaan. Banyak yang lebih memilih diam atau menutupi kasus seperti ini dengan dalih menjaga nama baik pesantren. Diamnya masyarakat bukan hanya ketidaktahuan, tetapi juga bentuk pembiaran.
Lebih parah lagi, korban sering kali malah disalahkan. Dalam banyak kasus, reaksi pertama masyarakat justru mempertanyakan pakaian korban, kedekatannya dengan pelaku, atau mempertanyakan kebenaran pengakuannya. "Apa iya kyai sebaik itu bisa berbuat begitu?" bentuk penyangkalan kolektif yang berbahaya.
Dalam konteks ini, keluarga korban pun sering gamang antara membela anaknya atau menjaga reputasi sosial. Seringkali mereka menjadi korban ganda: anaknya dilecehkan, tetapi mereka juga dikucilkan karena dianggap telah mencemarkan nama baik pesantren atau agama.
Peran Negara: Lemah, Lambat, dan Kadang Absen
Negara seharusnya menjadi pelindung utama warganya dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Sayangnya, dalam banyak kasus, negara datang terlambat kalau tidak absen sama sekali. Lembaga pengawasan terhadap pesantren sering kali tidak efektif, dan proses hukum terhadap pelaku juga tidak berjalan maksimal.
Kasus-kasus serupa di daerah lain menunjukkan bahwa pelaku sering mendapat perlakuan istimewa: penangguhan penahanan, perlindungan dari tokoh-tokoh berpengaruh, bahkan pembelaan dari sesama ulama. Ini mencerminkan bagaimana sistem hukum kita masih bias terhadap pelaku dengan status sosial tinggi.
Di sisi lain, regulasi perlindungan terhadap santri dan siswa di lembaga pendidikan agama masih sangat minim. Padahal, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan dan bisa menjadi payung hukum yang kuat. Namun, implementasinya di tingkat lokal sering terhambat oleh birokrasi, kurangnya pemahaman aparat, dan resistensi kultural.
Urgensi Pendidikan Seksual dan Kesadaran Gender di Pesantren
Pendidikan seksualitas yang komprehensif masih dianggap tabu di pesantren. Padahal, pemahaman yang benar tentang tubuh, relasi sehat, dan batasan pribadi sangat penting untuk membentengi santri dari kekerasan. Tanpa pendidikan ini, banyak santri bahkan tidak tahu bahwa apa yang mereka alami adalah bentuk pelecehan.
Lebih jauh, penting juga untuk menginternalisasi perspektif gender dalam kurikulum pesantren. Banyak pesantren masih mengajarkan relasi laki-laki dan perempuan secara hirarkis, dengan narasi bahwa perempuan adalah fitnah atau sumber godaan. Pandangan seperti ini hanya memperkuat relasi kuasa yang timpang dan membuka ruang bagi normalisasi kekerasan.
Pesantren sebagai institusi yang mengklaim membentuk karakter harus berani melakukan reformasi internal. Perlu ada SOP perlindungan anak dan perempuan, pelatihan gender bagi para asatidz, serta ruang pengaduan yang aman dan terpercaya.
Melampaui Amarah: Menuju Gerakan Kolektif Untuk Perlindungan Anak
Tragedi ini harus menjadi titik balik. Kita tidak bisa lagi membiarkan pelecehan seksual menjadi rahasia umum yang hanya dibicarakan dalam bisik-bisik. Sudah saatnya masyarakat, institusi pendidikan, pemerintah daerah, dan organisasi keagamaan duduk bersama membangun sistem perlindungan anak yang terintegrasi.
Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan antara lain:
Audit menyeluruh terhadap pesantren di Lombok, terutama yang menampung santri mukim (boarding), untuk memastikan standar keamanan dan perlindungan dipenuhi.
Pembentukan Satgas Perlindungan Santri di bawah Kementerian Agama atau Dinas Sosial, bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak.
Pendidikan dan pelatihan untuk pengasuh pesantren tentang kekerasan seksual, etika pengasuhan, dan pendidikan gender.
Kampanye kesadaran publik di tingkat lokal tentang pentingnya mendengarkan korban, bukan menyalahkan mereka.
Penguatan layanan psikologis dan hukum yang mudah diakses korban, dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan.
Penutup: Dari Trauma ke Harapan
Pelecehan seksual oleh pimpinan ponpes di Lombok bukan sekadar kasus hukum; ini adalah krisis moral dan sosial yang menuntut refleksi mendalam dari seluruh elemen masyarakat. Ini adalah alarm keras yang mengingatkan kita bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi anak-anak jika kita terus menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya mereka percayai.
Saya sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor percaya bahwa tugas kita tidak hanya mendidik secara kognitif, tetapi juga membentuk keberanian moral dalam membela yang lemah. Kita harus memulihkan makna pesantren sebagai tempat suci untuk belajar, bukan tempat yang membuat luka tak tersembuhkan.
Hari ini, kita mungkin merasa marah, sedih, dan frustrasi. Tapi semoga dari perasaan itu lahir kesadaran baru, bahwa perubahan tak bisa ditunda lagi. Karena setiap anak yang terselamatkan dari kekerasan, adalah kemenangan bagi masa depan kita bersama.