kpiiaihpancornews.com - Ketika berita tentang seseorang yang mengakhiri hidupnya sendiri muncul di media, seperti yang baru-baru ini terjadi di Lombok, reaksi kita biasanya cepat dan penuh emosi. Ada yang merasa kasihan dan ada pula yang menghakimi. Tapi setelah berita itu lewat, kita kembali pada rutinitas, seolah-olah itu hanyalah satu kisah tragis yang berdiri sendiri bukan bagian dari pola, bukan alarm keras tentang sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja di sekitar kita.
Padahal, bunuh diri bukanlah tindakan yang terjadi tiba-tiba. Itu adalah puncak dari penderitaan yang sudah lama dipendam. Itu adalah hasil dari akumulasi luka batin, tekanan hidup, rasa gagal, kesepian, dan keputusasaan yang tidak terlihat oleh mata orang lain. Ketika seseorang memilih untuk mengakhiri hidup, itu artinya mereka merasa tidak ada lagi ruang untuk hidup dan jika seseorang bisa sampai pada titik itu di tengah masyarakat yang katanya penuh kasih dan gotong royong, maka kita semua harus bertanya: ada yang salah dan di mana kita ketika mereka membutuhkan?
Realitas yang Sering Kita Abaikan
Di Lombok, seperti di banyak wilayah lain di Indonesia masyarakat hidup dalam struktur sosial yang kuat: ada adat, agama, dan nilai-nilai kolektif yang dijunjung tinggi. Tapi di balik kekuatan itu, ada sisi gelap yang sering tidak kita sadari: tekanan sosial yang menuntut kesempurnaan, budaya diam yang menstigma penderitaan, dan ketiadaan ruang aman untuk berbicara jujur tentang rasa sakit.
Orang yang mengalami tekanan mental sering kali memilih bungkam karena takut dianggap lemah, tidak beriman, dan menjadi bahan gunjingan. Di masyarakat yang religius, penderitaan jiwa sering kali dipersempit menjadi urusan spiritual semata. Padahal gangguan mental, seperti depresi, gangguan kecemasan, dan trauma adalah kondisi medis dan psikologis yang kompleks yang tidak cukup disembuhkan dengan nasihat atau kutipan ayat. Ia butuh pemahaman, pendekatan profesional, dan yang paling penting adalah butuh empati.
Ketidakhadiran Negara dan Minimnya Fasilitas
Masalah ini juga menunjukkan bahwa negara belum benar-benar hadir dalam urusan kesehatan jiwa rakyatnya. Di Lombok, layanan kesehatan mental masih sangat terbatas. Psikolog dan psikiater jarang ditemukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, apalagi di desa-desa. Jika pun ada, biaya dan stigma menjadi penghalang. Sementara itu, program edukasi kesehatan mental di sekolah, di pesantren, di tempat ibadah, bahkan di komunitas masih sangat minim.
Padahal, bunuh diri adalah masalah sosial yang sistemik. Artinya, ini bukan tanggung jawab individu semata, melainkan cerminan dari sistem yang gagal menyediakan tempat bagi orang-orang yang sedang tenggelam dalam beban hidupnya. Ketika seseorang merasa lebih mudah mengakses tali gantungan daripada pertolongan psikologis, maka itu adalah kegagalan kolektif bukan hanya kegagalan pribadi.
Kesadaran Kolektif yang Harus Diciptakan
Kita butuh perubahan yang serius. Perubahan pola pikir, perubahan budaya, dan perubahan kebijakan. Tapi sebelum itu semua, kita butuh kesadaran kolektif bahwa kita semua punya peran sekecil apapun dalam mencegah tragedi-tragedi semacam ini terulang.
Orang tua harus belajar untuk lebih mendengarkan anak-anaknya tanpa tekanan dan harapan berlebihan. Guru harus peka terhadap tanda-tanda murid yang mengalami kesulitan emosional. Tokoh agama harus mulai menyelipkan pesan-pesan kasih, pemahaman, dan dukungan psikologis dalam ceramah mereka. tokoh masyarakat harus menjadi penggerak perubahan pola pikir masyarakat. Mereka perlu menyampaikan bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan yang sah dan penting. Tokoh adat harus bisa menjadi jembatan antara nilai budaya dan kebutuhan zaman. Mereka dapat menyampaikan bahwa dalam adat hidup adalah anugerah yang dijaga bersama. Penderitaan bukanlah aib melainkan bagian dari perjalanan yang harus ditempuh dengan dukungan komunitas. Tokoh pemuda harus bisa menjadi teman yang mengerti, bukan hakim yang menghakimi. Mereka punya posisi strategis untuk menciptakan ruang-ruang aman, baik secara offline maupun online, tempat teman-temannya bisa bercerita tanpa takut diabaikan atau dicap lemah. Teman bermain harus bisa menjadi jembatan menuju pertolongan. Kalau merasa tidak mampu membantu, cukup mengarahkan atau menemani mencari bantuan ke orang dewasa, seperti guru, tokoh, dan tenaga profesional. Pemerintah harus mengalokasikan dana untuk layanan kesehatan mental, seperti mereka membangun jalan dan jembatan dan kita sesama manusia harus belajar untuk hadir. Bukan dengan ceramah dan bukan dengan penghakiman, tapi dengan telinga yang mau mendengar dan hati yang mau memahami.
Kadang, orang yang tampak paling kuat di luar adalah yang paling rapuh di dalam. Kadang, satu pelukan, satu obrolan santai, atau satu kalimat “kamu nggak sendirian” bisa menyelamatkan nyawa seseorang. Tapi kita tak akan bisa melakukannya jika kita masih buta, tuli, dan acuh terhadap realitas ini.
Mari Bangun Ruang Aman
Sudah waktunya kita membangun ruang aman di lingkungan kita masing-masing. Ruang untuk bercerita, untuk menangis, untuk marah, untuk merasa gagal tanpa takut dihakimi. Ruang di mana kita bisa menjadi manusia dengan segala luka dan rapuhnya tanpa harus menyembunyikannya di balik senyum palsu.
Setiap kasus bunuh diri adalah jeritan sunyi yang gagal kita dengar. Jangan sampai kita hanya tergerak ketika tragedi telah terjadi. Mari kita belajar menjadi pendengar yang baik, sahabat yang menguatkan, dan masyarakat yang benar-benar peduli. Karena nyawa manusia tidak seharusnya hilang hanya karena dunia terlalu bising untuk mendengar hatinya.