Notification

×

Iklan

Iklan

Nasib 1.689 Tenaga Honorer di Lombok Timur: Antara Regulasi, Anggaran, dan Keadilan Sosial

Senin, 22 September 2025 | September 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-22T12:45:41Z
Oleh: Daeng Sani Ferdiansyah
Kaprodi KPI IAIH Pancor


kpiiaihpancornewscom - Di tengah agenda besar pemerintah untuk menata tenaga honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kenyataan di lapangan sering kali jauh dari ideal. Alih-alih menghadirkan kepastian, banyak tenaga honorer justru hidup dalam ketidakjelasan status. Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu contoh paling nyata. Di daerah ini, sebanyak 1.689 tenaga honorer kini menghadapi ketidakpastian masa depan. Mereka tetap mengabdi setiap hari, tetapi tidak tahu apakah kelak akan diakui sebagai PPPK, tetap menjadi tenaga kontrak, atau bahkan berhenti begitu saja.


Fenomena ini bukan sekadar masalah administrasi kepegawaian. Di balik angka 1.689 terdapat cerita manusia: para guru yang mendidik generasi muda, tenaga kesehatan yang menjaga layanan publik, hingga staf teknis yang menopang jalannya birokrasi. Semua menghadapi dilema yang sama, bekerja untuk negara, tetapi belum mendapat jaminan kepastian hukum dan kesejahteraan.


Data dan Fakta Lapangan

Berdasarkan laporan resmi Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Lombok Timur, tenaga honorer yang berstatus belum jelas ini tersebar di berbagai sektor. Sebanyak 918 orang berasal dari sektor pendidikan, 375 orang dari puskesmas dan rumah sakit, 104 orang dari RSUD dr. Soedjono Selong, dan sisanya tersebar di berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Mereka tidak diusulkan dalam formasi PPPK paruh waktu tahun 2025.


Alasan ketidakmasukan ini beragam. Ada yang belum memenuhi syarat masa kerja minimal dua tahun, sebagaimana ditetapkan regulasi. Ada pula yang tidak mengikuti seleksi PPPK tahap 2024 sehingga otomatis tidak bisa diakomodasi. Pemerintah daerah menegaskan bahwa pihaknya tidak berani melangkah lebih jauh tanpa dasar hukum yang jelas dari pemerintah pusat. Situasi ini membuat tenaga honorer terjebak di tengah, tidak lagi mendapat kepastian dari status lama, tetapi belum juga masuk ke status baru.


Regulasi yang Menggantung

Penyebab paling mendasar dari persoalan honorer adalah regulasi yang belum sepenuhnya final. Pemerintah pusat memang telah mengeluarkan Keputusan Menteri PANRB Nomor 16 Tahun 2025 tentang PPPK paruh waktu. Dalam regulasi tersebut, honorer kategori R3 yang telah tercatat dalam database BKN seharusnya bisa diangkat tanpa tes ulang. Namun, implementasi di daerah, seperti Lombok Timur masih sangat terbatas. Proses validasi data lamban, mekanisme pengangkatan belum jelas, dan komunikasi ke publik pun minim.


Akibatnya, para honorer bagaikan berada di ruang tunggu yang pintunya tidak kunjung terbuka. Mereka tidak lagi mendapat SK baru sebagai honorer, tetapi juga tidak ada surat keputusan baru yang menegaskan mereka sebagai PPPK. Dalam logika hukum ketenagakerjaan, kondisi ini sangat rentan. Tenaga honorer bekerja tanpa kepastian status, sehingga perlindungan hukum mereka lemah. Jika sewaktu-waktu diberhentikan, mereka tidak memiliki dasar untuk menuntut keadilan.


Beban Anggaran Daerah

Masalah lain yang memperparah situasi adalah keterbatasan anggaran daerah. Mengangkat seluruh tenaga honorer menjadi PPPK penuh waktu tentu memerlukan biaya besar. Belanja pegawai di APBD Lombok Timur sudah tinggi, dan jika ditambah beban PPPK baru, bisa mengganggu alokasi untuk pembangunan atau layanan publik lain. Itulah sebabnya pemerintah daerah cenderung berhati-hati.


Kehati-hatian ini sering kali berarti penundaan. Gaji PPPK paruh waktu di Lombok Timur, misalnya, masih disesuaikan dengan honor lama karena belum ada ketentuan resmi dari pusat. Bahkan, beberapa tenaga honorer melaporkan keterlambatan pembayaran gaji hingga dua bulan, kondisi yang jelas merugikan kesejahteraan mereka. Dalam situasi ekonomi yang semakin sulit, keterlambatan ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan bentuk ketidakadilan nyata.


Dimensi Keadilan Sosial

Di luar persoalan administrasi dan fiskal, masalah honorer menyimpan dimensi keadilan sosial yang sangat serius. Banyak tenaga honorer yang telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun. Mereka tetap setia bekerja dengan gaji kecil, tanpa jaminan kesehatan memadai, dan tanpa kepastian status. Kini, mereka dihadapkan pada risiko tidak diangkat hanya karena tidak memenuhi persyaratan formal tertentu.


Sebaliknya, ada honorer yang baru beberapa tahun bekerja tetapi memenuhi syarat administratif, sehingga berpeluang lebih besar untuk masuk PPPK. Kondisi ini jelas menimbulkan rasa ketidakadilan. Dedikasi panjang tidak mendapat penghargaan setimpal, sementara regulasi lebih mementingkan syarat teknis. Inilah yang disebut sebagai ketidakadilan struktural: mereka yang loyal justru paling rentan tersingkir.


Belajar dari Daerah Lain

Sejumlah daerah di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan honorer bisa dikelola lebih baik dengan komitmen politik dan manajemen data yang rapi. Kabupaten Sukabumi, misalnya, sudah mulai mengangkat honorer kategori R3 menjadi PPPK paruh waktu tanpa tes ulang. Kabupaten Banyumas menggunakan skema afirmasi bagi honorer eks-kategori II, sehingga tenaga yang sudah lama mengabdi mendapat prioritas. Beberapa provinsi lain, seperti Riau, bahkan secara terbuka merilis alokasi PPPK paruh waktu hingga ribuan formasi.


Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa transisi honorer ke PPPK bisa dilakukan dengan cara yang lebih adil dan transparan. Kuncinya adalah keterbukaan data, kejelasan regulasi, serta keberanian politik pemerintah daerah untuk mengambil langkah afirmatif.


Rekomendasi Kebijakan

Melihat kondisi Lombok Timur, ada beberapa langkah strategis yang perlu segera diambil, antara lain:

  1. Percepatan Verifikasi Data. Pemerintah daerah harus segera menuntaskan verifikasi dan validasi data honorer. Semua tenaga honorer yang memenuhi syarat harus masuk database BKN, sehingga memiliki peluang diangkat sebagai PPPK paruh waktu.

  2. Implementasi Regulasi Pusat. KepmenPANRB No. 16/2025 harus dijadikan dasar untuk mempercepat pengangkatan honorer. Jika honorer kategori R3 memang boleh diangkat tanpa tes ulang, maka Lombok Timur perlu segera melaksanakan aturan ini.

  3. Kebijakan Bertahap dengan Afirmasi. Karena keterbatasan anggaran, pengangkatan bisa dilakukan bertahap. Namun, prioritas harus diberikan kepada tenaga honorer lama serta mereka yang bekerja di sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan.

  4. Transparansi dan Komunikasi Publik. Pemerintah daerah harus lebih terbuka kepada para honorer. Informasi tentang status, perkembangan regulasi, dan rencana pengangkatan harus diumumkan secara berkala agar honorer tidak hidup dalam ketidakpastian.

  5. Perencanaan Anggaran Jangka Panjang. APBD Lombok Timur perlu dihitung dengan realistis. Jangan sampai pengangkatan honorer berujung pada krisis fiskal. Perencanaan jangka panjang diperlukan agar pengangkatan bisa dilakukan secara berkelanjutan.


Penutup

Kasus 1.689 tenaga honorer di Lombok Timur mencerminkan masalah struktural dalam tata kelola tenaga kerja publik di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang telah lama mengabdi, menjadi tulang punggung pendidikan, kesehatan, dan pelayanan masyarakat. Namun, negara belum sepenuhnya hadir memberikan kepastian.


Ketidakjelasan ini tidak boleh dibiarkan. Pemerintah pusat dan daerah harus segera berkolaborasi, mempercepat verifikasi data, mengimplementasikan regulasi, dan memberikan kebijakan afirmatif bagi honorer lama. Jika tidak, ribuan tenaga honorer akan terus terjebak dalam status abu-abu, bekerja tanpa perlindungan hukum, dan hidup dengan kesejahteraan yang minim.


Inilah saatnya negara membuktikan bahwa ia benar-benar menghargai pengabdian warganya. Kepastian status bukan hanya soal administrasi, melainkan soal martabat dan keadilan sosial.

×
Berita Terbaru Update